Kali ini FeriNgeblog akan membahas tentang perlawanan mummy mesir dan wamena #Lebay, meskipun terdengar aneh seperti muke gue namun layak untuk di baca sobat hahahahah :P .
Yang paling aneh dari mummy wamena itu pada gambar disamping atas berwarna hitam, mungkin di balsemnya pake lumpur kali ya??? (Iya, gitu?) ya cuman pendapat aja sih.....
Kalau mummy mesir samping berwarna coklat mungkin karna tinggalnya di daerah deket gurun warnanya jadi coklat kali yah????? (Gak nyambung banget, hahahahhaha :D ta apalah yang penting happy -_____-"). oke gak usah lama-lama langsung aja cekidot article di bawah ini;
MESIR
Mumi adalah sebuah mayat
yang diawetkan, dikarenakan perlindungan dari dekomposisi oleh cara
alami atau buatan, sehingga bentuk awalnya tetap terjaga. Ini dapat
dicapai dengan menaruh tubuh tersebut di tempat yang sangat kering atau
sangat dingin, atau ketiadaan oksigen, atau penggunaan bahan kimiawi.
Mumi
paling terkenal adalah mumi yang dibalsam dengan tujuan pengawetan
tertentu, terutama dalam Mesir kuno. Orang Mesir percaya bahwa badan
adalah tempat Ka seseorang yang sangat penting dalam masa setelah hidup.
Salah Satu Mumi firaun yang paling terkenal adalah raja Tukankhamen,
raja ini terkenal hampir di seluruh budaya di dunia. Di Cina, telah ditemukan dari petimati sipres yang tenggelam dengan menggunakan tanaman obat-obatan.
Mumi yang terbentuk karena kejadian alami, seperti di tempat super
dingin (Ötzi manusia es, asam (manusia Tollund) atau kekeringan yang
ditemukan di banyak tempat di dunia. Beberapa mumi yang terawet baik
dalam kondisi alami bermulai sejak periode Inca di Peru.
WAMENA
MUMI
Wamena, bisa jadi, tidak sekondang mumi para Firaun Mesir. Namun,
sensasinya tak kalah kuat. Apalagi, pengunjung tidak hanya bisa melihat
mumi berusia ratusan tahun tersebut. Pengunjung juga diizinkan untuk
berfoto dengan mumi yang bentuk beberapa organ tubuhnya masih tampak
jelas.
Tak aneh, desa tempat mumi tersebut seolah menjadi lokasi yang wajib
dikunjungi oleh siapa saja yang ke Wamena. Sebut, misalnya, Mumi Wim
Motok Mabel di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Papua.
Untuk
mencapai Wamena, pengunjung dari luar Papua harus transit dulu di
Bandara Sentani, Jayapura. Dari Sentani, kita harus menggunakan pesawat
udara lagi. Sebab, sampai saat ini jalur udara itulah satu-satunya cara
yang bisa ditempuh untuk mencapai Wamena.
Tiket pesawat Jayapura-Wamena Rp 880 ribu per orang. Tidak terlalu
mahal, mungkin. Tapi, mendapatkannya tidak mudah. Maklum, pesawat yang
tersedia terbatas.
Setelah dapat tiket pun, belum bisa
dipastikan kita akan sampai di Wamena. Masih ada penentu lain. Cuaca.
Untuk mencapai Wamena, pesawat harus melalui celah di antara dua bukit.
“Bila cuaca sedang tidak bagus sehingga celah itu berkabut, pesawat
biasanya kembali ke Bandara Sentani,” tutur seorang calon penumpang di
Bandara Sentani. Mendebarkan? Mereka yang gemar bertualang mungkin
menganggapnya mengasyikkan.
Tiba di Bandara Wamena, tinggal pilih, mau langsung ke perkampungan tempat mumi berada atau beristirahat dulu.
Bila
mau langsung menuju lokasi, kita bisa memanfaatkan jasa taksi bandara.
Tarifnya Rp 100 ribu per jam atau Rp 800 ribu per hari. Bila
pengunjung ingin beristrahat dulu, di sekitar Bandara ada hotel dan
penginapan. Tarif terendah Rp 250 ribu per hari.
Perkampungan
mumi di Distrik Kurulu, Jaya Wijaya, berjarak sekitar 30 kilometer
atau 25 menit perjalanan dari Kota Wamena. Sepanjang perjalanan, mata
seolah dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka yang berbukit-bukit
dan menawan.
Lalu, wow! Sekitar 15 menit perjalanan,
menjelang memasuki desa tempat mumi berada, di kiri jalan tampak bukit
dengan hamparan putih di sekelilingnya. Salju? Bukan. Hamparan putih
itu pasir. Tapi, memang, pasir itu terlihat putih sekali.
Setelah
25 menit perjalanan, sampailah kita tiba di kampung mumi. Perkampungan
itu dihuni 20 kepala keluarga. Di bagian depan perkampungan ada pintu
masuk yang hanya dibuka saat ada tamu.
Begitu kami
masuk halaman perkampungan, mereka langsung menyambut kami dengan
ramah. Yang perempuan mengenakan sali (rok dari kulit kayu), sedangkan
yang laki-laki memakai koteka. Kesan primitif sangat terasa. Namun, ada
yang bilang bahwa mereka sebetulnya sudah berkain seperti kita
sehari-hari. “Tapi, mereka langsung buka baju begitu tahu ada
pengunjung,” kata seorang teman yang asli Wamena.
Lingkungan
di perkampungan itu juga masih terkesan alami. Di kiri kanan tampak
honai, rumah tempat warga tinggal. Di salah satu honai itulah mumi Wim
Motok Mabel disimpan.
Mau melihat mumi? Boleh. Tapi,
harus nego dulu sebelum mereka mau mengeluarkan mumi tersebut dari
honai. “Ada tarifnya. Biasanya pengunjung harus bayar Rp 25 ribu.
Katanya sih untuk biaya perawatan,” kata teman tadi.
Menurut
Batu Logo, salah seorang warga yang tinggal di perkampungan tersebut,
Mumi Wim Motok Mabel adalah generasi ketujuh. Usianya saat ini 368
tahun. “Dia (Wim Motok Mabel, Red) adalah kepala suku perang. Menurut
cerita orang tua kami, sebelum meninggal beliau berpesan agar mayatnya
tidak dibakar. Beliau minta mayatnya diawetkan agar jasadnya bisa
dilihat generasi berikutnya,” kata Batu Logo.
Meski
telah berusia 368 tahun, sebagian bentuk tubuh mumi itu masih sangat
jelas. Terutama kepala, badan, dan kaki. Bahkan, kotekanya pun masih
terlihat. “Untuk menjaga agar tidak rusak termakan usia, mumi itu
dirawat secara tradisional dengan pengasapan dan pengolesan lemak babi
ke seluruh tubuh mumi,” terang Batu Logo.
Mau berfoto
bersama Mumi, bisa. Tapi, lagi-lagi ada tarifnya. Bahkan, berfoto
dengan warga setempat yang mengenakan pakaian tradisional pun, kita
harus bayar. “Seorang Rp 5 ribu untuk sekali jepretan,” kata Batu Logo.
Bahkan,
di depan salah satu honai, tampak pondok yang memajang hasil kerajinan
tangan warga. Kotega berbagai jenis dan ukuran terlihat bergantungan
di sana. Ada juga noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan
lain. Harganya juga bervariasi. Tapi, jangan dulu berpikir “serbu”,
serba lima ribu. Kerajinan tangan di kios suvenir itu berharga Rp 50
ribu hingga ratusan ribu rupiah.
Sumber artikel; http://wahw33d.blogspot.com/2010/09/inilah-mumi-dari-wamena-tidak-kalah.html